Tedak Siten, Tradisi Masyarakat Jawa yang Mulai Sirna

Di kalangan masyarakat Jawa, Tedak Siten atau Turun Tanah merupakan peristiwa penting khususnya bagi anak berusia tujuh bulan.

Tedak artinya Turun, dan Siten dari kata Siti yang berarti Tanah. Gambaran anak dalam menjalani kehidupan, tumbuh mandiri mampu menghadapi rintangan. Tedak siten juga berarti kedekatan anak dengan ibu pertiwi atau tanah kelahiran.

Selain menarik, prosesi ini juga melalui beberapa tahapan. Pertama, anak menginjak bubur tujuh warna. Bermakna warna-warni kehidupan. Angkah tujuh dalam bahasa jawa berarti pitu, mengandung makna pitulungan atau pertolongan Tuhan.

Kedua, dituntun menaiki tangga dari tebu. Tebu bermakna antebing kalbu atau mantabnya hati. Setelah turun, berjalan menuju onggokan pasir, maknanya bila anak sudah dewasa pandai mencari nafkah.

Proses selanjutnya dimasukkan kurungan ayam berisi beberapa benda, diteruskan menyebarkan udik-udik, mandi kembang, lalu diakhiri dengan mengenakan pakaian dan menikmati kenduri yang sudah disiapkan.

Ritual Tedak Siten memang syarat makna, penuh nilai filosofis. Menjaga keseimbangan alam dan berperilaku bijak. Kehidupan menjadi damai dan tenang.

Seiring perkembangan zaman, prosesi ini mulai susah dicari. Bukan hanya dikalangan perkotaan, di pedesaan juga tidak jauh berbeda. Banyak hal yang menjadi penyebabnya, perubahan pola pikir dan kemajuan teknologi menyebabkan prosesi berbau tradisi dan budaya mulai ditinggalkan.

Kemajuan zaman tidak seharusnya menggusur tradisi dan budaya. Namun tetap menjaga dan mampu melestarikannya.

Upacara Turun Tanah di Jawa

Tidak Siten atau dikenal dengan sebutan Upacara Turun Tanah, merupakan budaya warisan leluhur masyarakat Jawa untuk bayi yang berusia sekitar tujuh atau delapan bulan.

Upacara tedak siten ini dilakukan sebagai rangkaian acara yang bertujuan agar anak tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Seperti tedak siten yang dilakukan pada anak yang bernama Adreena Saila Putri Widya, putri dari Yan Tri Asmoro Widya dan Media Putri Widiyanti yang berasal dari Tanjunganom, Nganjuk, Jawa Timur.

Tradisi dijalankan saat anak berusia hitungan ke tujuh bulan dari hari kelahirannya dalam hitungan pasaran jawa. Perlu diketahui juga bahwa hitungan satu bulan dalam pasaran jawa berjumlah 36 hari. Jadi bulan ke tujuh kalender Jawa bagi kelahiran si bayi setara dengan kalender bulan ke delapan Masehi.

Bagi para leluhur, adat budaya ini dilaksanakan sebagai penghormatan pada bumi tempat anak memijakkan kakinya ke tanah. Kemudian dalam istilah Jawa disebut Tedak Siten. Selain itu juga diiringi doa-doa dari orang tua dan sesepuh sebagai pengharapan agar kelak anak sukses menjalani kehidupannya.